Laman

Minggu, 28 Maret 2010

“HOUSE OF NURSING” BERHASIL MENDAPATKAN JUARA III DALAM LOMBA PKMK UNAIR

HOUSE OF NURSING; PENGEMBANGAN ENTERPRENEUR KEPERAWATAN BERBASIS MULTY SERVICE SYSTEM

Diusulkan dalam:

LOMBA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

BIDANG KEWIRAUSAHAAN (PKM-K)

ENTERPRENEURSHIP IN NURSING”

DIES NATALIS 11 TAHUN PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA TAHUN 2010

Oleh:

Siwi Sri Widhowati NIM. G2B006057

Antok Supriyanto P. M. NIM. G2B000100

Restu Ulfah Satyami NIM. G2B008111

Febri Yudha Utama NIM. G2B009024

MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG


Karya tulis ini dilatar belakangi oleh fenomena menjamurnya stikes atau institusi pendidikan keperawatan di Indonesia saat ini yang menyebabkan ketidakseimbangan jumlah lulusan perawat dan lapangan kerja yang tersedia. Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup mencengangkan. Tingginya angka pengangguran ini seperti mengindikasikan bahwa lapangan pekerjaan bagi perawat di Indonesia sangat terbatas atau menyempit. Tingginya angka pengangguran perawat juga disebabkan tidak terserapnya para perawat ini oleh lapangan kerja di luar negeri. Maka untuk dapat memperluas lahan pekerjaan, perawat harus bisa melihat peluang-peluang yang dapat dijadikan untuk berwirausaha. Banyaknya tenaga perawat, adanya kebutuhan masyarakat untuk akses pelayanan kesehatan preventif kuratif, serta tingginya permintaan tenaga perawat luar negeri dan kebutuhan peningkatan skill bahasa asing bagi perawat Indonesia merupakan sebuah peluang bagi perawat untuk berenterpreneur. Hal ini mendasari penulis untuk merilis konsep wirausaha yang memberdayakan peluang-peluang usaha tersebut. Tujuan dari program ini adalah membentuk lapangan kerja baru bagi lulusan perawat serta lembaga pendidikan bahasa asing bagi perawat yang akan bekerja di luar negeri.

“HOUSE OF NURSING” BERHASIL MENDAPATKAN JUARA III

DALAM LOMBA PKMK UNAIR

Karya tulis berjudul House of Nursing; Pengembangan Enterpreneur Keperawatan Berbasis Multy Service System ini disajikan dalam rangkaian seleksi finalis PKMK UNAIR pada tanggal 27 Maret 2010 di Fakultas Keperawatan UNAIR Surabaya. Keseluruhan finalis berjumlah 10 tim yang berasal dari berbagai Perguruan Tinggi termasuk Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, Universitas Dipoengoro dan unibersitas/ Stikes lainnya.

UNDIP berhasil mengirimkan dua Tim yang lolos seleksi finalis yaitu:

Tim 1: Dyah Kartika Putri (angkatan 2006), Iim Mardiyah (angkatan 2006), dan Mariyati (angkatan 2008). Tim ini menulis karya tulis berjudul “Modern Dressing sebagai Nerspreneurship yang Prospektif”

Tim 2: Siwi Sri Widhowati (angkatan 2006), Antok Supriyanto Prawira Muda (angkatan 2008), Restu Ulfah Satyami (angkatan 2008), dan Febri Yudha Utama (angkatan 2009).

Masing-masing tim mempresentasikan karyanya dengan dirasi waktu 10 menit untuk presentasi dan 15 menit untuk tanya jawab. Pertanyaan diberikan oleh 3 dewan juri. Setiap juri mempunyai waktu 5 menit melakukan tanya jawab dengan tim penyaji.

Tim UNDIP atas nama Siwi dkk yang mempresentasikan karya House of Nursing dalam urutan kesembilan telah berhasil mendapatkan urutan juara 3 dalam kompetisi ini. Tim tuan rumah (Universitas Airlangga) berhasil menggaet juara pertama dan kedua.



PENGGUNAAN MADU SEBAGAI ALTERNATIF PERAWATAN LUKA YANG EFEKTIF

Madu merupakan zat yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sebagaian besar masyarakat mengenal madu sebagai bahan makanan. Padahal banyak sekali manfaat madu, di antaranya dalam bidang kesehatan sebagaimana yang dinyatakan dalam Alquran bahwa madu dapat digunakan sebagai obat.
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia," kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. An Nahl, 16:68-69)
Penjelasan tentang madu ini merupakan potongan ayat-ayat dalam Al quran. Ayat ini memberikan berita pada manusia bahwa madu yang keluar dari perut lebah dan bermacam-macam warnanya ini sebenarnya mempunyai khasiat obat yang menyembuhkan.
Salah satu kasus yang membuktikan adanya khasiat dari madu adalah kejadian yang dialami oleh seorang remaja Inggris yang menderita infeksi pada darah yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Pengobatan yang telah dilakukan sebelumnya tidak berhasil. Akhirnya dicoba pengobatan dengan madu yaitu kakinya diolesi Madu Manuka. Ternyata madu tersebut berhasil mengurangi jumlah bakteri secara cepat, dan setelah sepuluh minggu pemuda tersebut berhasil sembuh total dan kakinya tidak jadi diamputasi. Kasus ini dilaporkan pada 6 April 2000 di Nursing Times (Anonim, 2000, http://healthychoice.epnet.com/GetContent.asp?siteid=csmary&docid=/healthy/alternative/2000/honey/GetContent.asp?siteid=csmary&docid=/healthy/living/contrib, diakses pada tanggal 20 Februari 2009).
Sebenarnya manusia dengan kecerdasan berpikirnya telah berupaya menguak zat yang terkandung dalam madu serta fungsinya melalui berbagai penelitian dan percobaan. Pada tahun 1933 Philip menyebutkan penggunaan madu untuk luka bakar dan menjelaskan hal ini sebagai balutan luka yang terbaik. Pada tahun 1937 Voigtlander menggunakan madu untuk menyembuhkan luka bakar dan menggunakannnya untuk mengurangi nyeri dengan sensasi menyejukkan dari madu. Studi pada model binatang telah mendemonstrasikan bahwa madu lebih mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi inflamasi daripada pengontrolan bebas infeksi pada luka bakar superfisial dan luka dalam serta pada luka yang telah terinfeksi Staphylocoocus aureus. Laporan kasus lain juga menyebutkan bahwa luka bakar tidak berespon dengan pengobatan konvensional, tetapi dapat pulih ketika menggunakan balutan madu. Sebuah studi retrospektif selama 5 tahun (1988-1992) pada 156 pasien luka bakar yang dirawat di rumah sakit menyebutkan bahwa 13 pasien yang diobati dengan madu memiliki hasil yang sama dengan yang disembuhkan dengan silver suphadiazine (Subrahmanyam, 2007).
Khasiat madu yang telah diwahyukan dalam Alquran merupakan pemicu bagi penulis untuk mengangkat karya tulis bertopikkan madu. Penulis perlu melakukan eksplorisasi terhadap manfaat madu sebagai bahan perawatan luka melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan terhadap madu ini. Ternyata madu mempunyai banyak potensi terapeutik. Sampai saat inipun penelitian tentang potensi terapeutik madu masih terus berlanjut. Penelitian-penelitian yang terus berlanjut ini menunjukkan bahwa masih ada rahasia-rahasia madu yang harus dikuak oleh manusia. Begitu banyaknya manfaat yang dikandung oleh madu menunjukkan betapa sangat bergunanya madu ini bagi kehidupan manusia.

A.Sejarah penggunaan madu sebagai obat luka
Madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis, yang dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman atau bagian lain dari tanaman atau ekskresi serangga (Badan Standardisasi Nasional, 2000).
Pengobatan dengan madu telah dikenal orang Mesir sejak 2600 sebelum masehi. Madu digunakan sebagai obat antiseptik untuk mengobati luka oleh bangsa Yunani, Romawi, Assyria, dan Cina kuno. Bangsa Jerman pun memakainya ketika Perang Dunia II (Sarwono, 2001). Penggunaan madu sebagai obat luka infeksi telah dilakukan semenjak 2000 tahun lamanya sebelum ditemukannya bakteri sebagai penyebab infeksi (Gunther, 1959).
Penelitian tentang pemanfaatan produk lebah madu dimulai sejak tahun 1922 oleh Prof. R. Chauvin dari Universitas Sorbone, Perancis (Apiari Pramuka, 2003 dalam Peri, 2004). Penelitian-penelitian selanjutnya mengenai manfaat madu banyak dilakukan dan berhasil menguraikan
berbagai manfaat madu, salah satunya di bidang kesehatan. Madu telah dilaporkan mempunyai efek inhibitor sekitar 60 spesies bakteri meliputi bakteri aerob dan anaerob, gram positif dan gram negative. Efek antifungal juga telah diobservasi pada beberapa jamur serta spesies aspergillus dan penicillium (Molan, 1992).

B.Komposisi dan Kandungan Madu
Zat-zat makanan yang terdapat dalam madu sangat kompleks dan diketahui terdapat 181 macam senyawa dalam madu (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu). Menurut hasil riset yang dilakukan Pusat Perlebahan Apiari Pramuka madu diketahui mengandung 24 macam zat gula (Peri, 2004), 3 macam gula sebagai komponen utamanya adalah fruktosa (41%), glukosa (35%) dan sukrosa (19%) (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu), disamping mengandung zat ferment, vitamin, mineral, asam, asam-asam amino, hormon, zat bakterisidal, dan bahan-bahan aromatik (Peri, 2004). Di dalam madu terdapat 18 mineral esensial dan 19 mineral non-esensial (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu). Beberapa mineral penting dalam madu adalah natrium, kalsium, magnesium, tembaga, mangan, besi, kalium, dan fosfor dengan kadar mendekati komposisi mineral darah manusia. Sedangkan vitamin dalam madu diantaranya vitamin B1, B2, K, dan C. (http://www.info@clickwok.com). Kualitas madu ditentukan antara lain oleh warna, rasa, kekentalan, aroma dan kadar air. Rasa, aroma dan warna madu sangat ditentukan oleh bunga sumber nektar yang dikumpulkan lebah pekerja (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu)..
Energi yang dihasilkan tiap 100 g madu rata-rata 294-328 kalori. Nilai kalori 1 kg madu setara dengan 50 butir telur, 24 buah pisang, 40 buah jeruk, 5,7 liter susu, atau 1,68 kg daging (Majalah Kehutanan Indonesia, 2002).

C.Madu sebagai Antimikrobial
Madu dikenal memiliki efek antibakteri spektrum luas serta antifungal. Adapun yang menjadikan alasan mengapa madu memiliki efek tersebut adalah sebagai berikut:
a.Efek osmotik madu
Konsentrasi gula yang tinggi menarik air keluar dari organisme sehingga membuat organism ini dehidrasi dan menyebabkan sel mati. Potensi antibacterial pada madu pertama kali ditemukan pada tahun 1892 oleh Van Ketel. Potensi antibakterial ini sering diasumsikan berkaitan erat dengan efek osmotik dari kandungan gula yang tinggi pada madu (Green, 1988). Madu sebagaimana sirup gula yang terlarut mempunyai osmolaritas yang cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Chirife, 1983), tetapi jika digunakan sebagai lapisan kontak pada luka, pengenceran oleh eksudat luka mengurangi osmolaritasnya pada tingkat yang dapat menhentikan control infeksi (Herszage, 1980). Walaupu n demikian, luka yang terinfeksi dengan staphilococcus aureus cepat dibuat steril oleh madu (Armon, 1980). Madu mempunyai aktivitas antibacterial tingkat medium untuk mencegah pertumbuhan staphilococcus aureus jika diencerkan 7-14 kali dari titik dimana osmolaritasnya tidak mampu menjadi inhibitor lagi (Cooper, 1999).
Fakta bahwa efek antibacterial madu meningkat jika diencerkan telah terobservasi dengan jelas dan dilaporkan pada tahun 1919 (Sackett, 1919). Penjelasan dari hal ini berasal dari penemuan bahwa madu mengandung enzim yang mampu memproduksi hydrogen peroksida ketika diencerkan (White, 1963). Agen ini pada awalnya lebih dikenal sebagai “inhibine” untuk mengidentifikasinya sebagai peroksida hydrogen (Dold, 1937).
Hal yang penting dari aktivitas antibakteri madu adalah ketika efek terapeutik madu ini dibandingkan dengan gula. Dalam studi eksperimen yang dilakukan pada luka bakar yang diciptakan di kulit babi, ada lebih sedikit koloni bakteri yang terlihat pada luka yang diberi madu jika dibandingkan dengan luka yang diberi gula, lebih sedikit pustula mikro pad neoepidermis, dan lebih sedikit bakteri yang terlihat dalam eschar pada luka yang diobati dengan madu. Sebuah laporan kasus klinik juga melaporkan adanya luka tekan dalam yang berespon terhadap bermacam-macam pengobatan, termasuk pembalutan dengan gula, tetapi dapat sembuh total dalam waktu 6 minggu ketika dibalut dengan madu (Hutton, 1966)
Madu juga menyediakan glukosa untui leukosit yang esensial untuk pembakaran respiratori yang menghasilkan hydrogen peroksida sebagaimana senyawa ini adalah komponen dominan untuk aktivitas antibakteri pada makrofag. Selanjutnya pembakaran respiratori ini menyediakan substrat juga untuk glikolisis yang merupakan mekanisme utama dalam produksi energi dalam makrofag, dan hal ini memungkinkan energy untuk difungsikan bagi pemulihan sel yang rusak. Area yang mempunyai suplai oksigen yang baik juga menyebabkan produksi eksudat yang rendah (Clotho Corp: U.S. Distributors of New Zealand Manuka Honey. http://www.purezing.com/living/wellness_articles/living_articles_honeywounds.html).
b.Keasaman madu
Keadaan asam ini menghambat pertumbuhan bakteri. Madu bersifat sangat asam dan memiliki Ph antara 3 dan 4 yang dapat disamakan dengan keasaman jus jeruk atau sekaleng koka kola. Bakteri akan terbunuh dalam lingkungan asam seperti ini. Namun, jika madu diencerkan (misalnya pada saat pengeluaran cairan tubuh dari luka), keasaman madu menjadi berkurang, menyebabkan bakteri dapat berkembang kembali (Anonim, http://www.biotechlearn.org.nz/focus_stories/honey_to_heal/how_honey_heals_wounds).
c.Aksi dari hidrogen peroksida
Senyawa ini juga menghambat pertumbuhan bakteri. Walaupun hidrogen peroksida terdapat pada madu, tetapi senyawa ini hanya teraktivasi ketika madu diencerkan (Bunting, 2001).
Hidrogen peroksida terkenal sebagai agen antimikroba, pertama kali dikenalkan sebagai antibakteri dan properti pembersih dalam praktek klinik (Turner, 1983). Pada akhirnya senyawa ini tidak digunakan sebagaimana dikenalkan karena menyebabkan inflamasi dan merusak jaringan (Saissy, 1995). Walaupun demikian, konsentrasi hidogen peroksida yang dihasilkan madu ketika teraktivasi saat pengenceran hanya sekitar 1 mmol/l (Molan, 1992), atau sekitar 100 kali lebih kecil daripada larutan 3 % yang biasa digunakan sebagai antiseptik. Efek membahayakan dari hydrogen peroksida jauh berkurang karena madu mengisolasi dan membuat besi bebas menjadi inaktif yang mengkatalis formasi radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh hydrogen peroksida (Bunting, 2001).
Komponen antioksidan ini juga membantu membersihkan radikal bebas oksigen (Frankel, 1998). Studi pada model binatang mendemonstrasikan bahwa madu mengurangi peradangan (dilihat dari sisi histologi), jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang bervariasi dengan luka bakar dalam dan superficial dan juga pada luka dalam (Oryan, 998).
Walaupun kadar hidrogen peroksida pada madu sangat kecil, kadar ini masih efektif sebagai agen antimikroba. Studi dengan Escherichia coli yang dipaparkan secara konstan dengan hidrogen peroksida menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri menjadi terhambat oleh hidrogen peroksida 0,02-0,05 mmol/l, konsentrasi yang tidak berbahaya bagi sel fibroblast pada kulit manusia (Hyslop, 1995).
d.Aksi dari phytochemical
Phytochemical (senyawa kimia tumbuhan) dikenal sebagai faktor antibacterial non peroksida. Senyawa ini secara alami terdapat pada nectar bunga yang dikumpulkan oleh oleh lebah madu. Sebagai contohnya pada madu yang didapat dari bunga pohon manuka New Zealand lebih berpotensi dalam membunuh bakteri. Karena molekul dari senyawa ini belum teridentifikasi secara pasti maka sifat madu ini dinamakan faktor manuka yang unik (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
e.Madu menciptakan lingkungan penyembuhan yang lembab. Hal ini memungkinkan sel untuk tumbuh kembali yang ditandai dengan permukaan luka yang memerah. Kondisi ini dapat mencegah deformitas pada kulit. Jika terbentuk lapisan luar luka yang kering, sel kulit hanya dapat tumbuh pada luka yang lebih dalam dari daerah yang lembab saja.
f.Madu menyebabkan lapisan luar luka yang kering (keropeng) dan sel-sel mati terlepas dari permukaan luka, menciptakan sebuah lingkungan luka yang sehat dimana terjadi pertumbuhan kembali jaringan (Johnson, 1999. http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
g.Madu menstimulasi pertumbuhan jaringan dalam proses penyembuhan luka. Madu memicu pembentukan kapiler darah yang baru dan pertumbuhan fibroblast yang menggantikan jaringan penyambung pad lapisan kulit yang lebih dalam serta menstimulasi produksi serat kolagen yang memberikan kekuatan pada perbaikan jaringan. Madu juga memicu pertumbuhan sel epitel yang membentuk kulit baru menutupi seluruh luka yang sembuh. Madu jug mencegah pembentukan keropeng dan jaringan parut (keloid), sehingga menghilangkan kebutuhan untuk cangkok kulit walaupun pada luka yang sangat lebar (Johnson, 1999. http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
h.Madu tidak merekat pada dasar jaringan luka sehingga sehingga tidak menimbulkan sakit pada saat balutan diganti (Johnson, 1999. http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
i.Kandungan gula yang tinggi pada madu akan menarik keluar cairan limfe pada luka sehingga dapat yang mengangkat kotoran keluar dari area luka (Johnson, 1999. http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
j.Madu mencegah timbulnya bau yang biasanya ditemukan pada luka yang parah dan ulcer pada kulit. Madu dapat mencegah timbulnya bau dengan membersihkan infeksi luka dengan lebih cepat dengan menyediakan lingkungan gula untuk bakteri yang ada. Pada kondisi lingkungan seperti ini akan terbentuk asam laktat walaupun juga bau sebagai hasil dari degradasi protein (Johnson, 1999. http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
k.Madu dengan cepat dapat membersihkan infeksi dari luka. Kemampuan madu ini dangat efektif bahkan untuk strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Madu tidak seperti antiseptik atau antibiotik, madu tidak menyebabkan kerusakan pada proses penyembuhan luka melalui efek samping (Johnson, 1999. http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).


D.Efek Antiinflmasi
Bukti histologi dari pengurangan jumlah inflamasi sel pada luka yang dibalut dengan madu berasal dari studi pada 61 luka bakar dalam dan 25 luka bakar superficial sebagaimana halnya dengan luka dalam (Postmes, 1997). Studi ini menyimpulkan bahwa pengurangan inflamasi pada luka berkaitan dengan komponen antiinflamasi madu, dan tidak hanya berkaitan dengan efek pembersihan dan debridement luka yang dihasilkan oleh madu .
Walaupun inflamasi adalah bagian utama dari respon normal tubuh terhadap infeksi atau perlukaan, inflamasi yang berlebihan dan terus berlanjut dapat mencegah penyembuhan atau bahkan menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih lanjut. Penekanan inflamasi, layaknya pengurangan nyeri pada pasien, menurunkan dilatasi pembuluh darah, yang akan mengurangi edema dan eksudat. Tekanan pada jaringan akibat sekunder dari edema menghambat aliran darah dalam kapiler (Chant, 1999), menyebabkan kelaparan jaringan akan oksigen dan nutrisi yang vital untuk leukosit dalam melawan infeksi dan untuk pembelahan fibroblast dalam penyembuhan luka. Akhirnya, penyembuhan terganggu karena pembengkakan jaringan menghalangi difusi oksigen dan nutrisi dari kapiler ke sel-sel (Sinclair, 1994).
Konsekuensi yang lebih serius dari inflamasi yang berlebihan adalah produksi jenis oksigen reaktif (radikal bebas) dalam jaringan, yang merupakan produk samping dari aktivitas fagosit dalam proses inflamasi. Radikal bebas reaktif ini dapat memecah protein, asam nukleat, dan lipid pada membran sel, membahayakan atau merusak jaringan. Jenis oksigen reaktif juga menarik lebih bayak leukosit ke area inflamasi sebagai penguatan diri dari respon inflamasi (Flohe dkk, 1985). Mekanisme penguatan diri ini selanjutnya menyebabkan aktivasi proteolitik.
Walaupun hydrogen peroksida pada madu dapar berpotensi menyebabkan inflamasi, tetapi senyawa diproduksi dalam kadar yang sangat rendah. Antioksidan yang terdapat pada madu juga membantu mencegah inflamasi. Antioksidan ini merupakan jenis oksidatif yang terbentuk dari hydrogen peroksida.
Penjelasan mengenai madu ini memberikan gambaran akan kelebihan-kelebihan madu dibanding dengan bahan perawatan luka yang lain. Madu ternyata lebih efektif dalam buat steril luka infeksi dan lebih efektif juga dalam membantu proses penyembuhan luka. Alasan ini cukup kuat digunakan sebagai dasar penggunaan madu sebagai bahan perawatan luka.

E.Perawatan luka dengan bahan selain Madu
Perawatan luka trauma (injuri) seperti lecet diawali dengan membersihkan luka dengan normal saline 0,9 %, kemudian diolesi salep luka atau sesuai resep. Luka biasanya akan mongering 2 sampai 3 hari selanjutnya. Luka trauma yang lebih dalam dan mengalami inflamasi di sekitarnya memerlukan balutan kassa setelah diolesi dengan salep luka atau sesuai resep. Balutan kemudian difiksasi dengan plester dan secara teratur dilakukan pergantian balutan sesuai kebutuhan.
Pada luka bakar dengan kondisi yang melepuh dapat dilakukan perawatan dengan pertama kali dicuci NaCl 0,9 % dan oleskan dengan salep luka atau sesuai resep yang menutup seluruh area luka. Luka kemudian dibalut dengan kassa dan plester. Balutan kemudian difiksasi dengan plester dan secara teratur dilakukan pergantian balutan sesuai kebutuhan.
Luka dekubitus atau pressure ulcer merupakan luka yang cukup ditakuti oleh pasien-pasien dengan immobilisasi. Setelah luka dicuci dengan normal saline 0,9%, kemudian dioleskan salep luka atau sesuai resep pada kasa kemudian tutup rapat. Balutan diganti jika rusak atau sesuai kebutuhan (Anonim, 2008. http://metcovazin.blogspot.com/feeds/posts/default).

F. Prosedur pemakaian madu untuk merawat luka
Prosedur yang paling banyak dianjurkan dalam laporan yang ada adalah dengan membersihkan luka terlebih dahulu, walaupun banyak penjelasan bahwa madu mempunyai aksi pembersih dan debridemen pada luka. Beberapa laporan lain melaporkan bahwa abses yang ada dibuka dan pus dikeluarkan, jaringan nekrotik diambil, sebelum membalut luka dengan madu (Farouk dkk, 1998).
Beberapa penelitian lain menggunakan prosedur pembersihan luka dahulu yaitu disikat menggunakan sikat gigi yang lembut diikuti dengan hidrogen peroksida, garam pembersih, betadin, atau garam pembersih lain, larutan dakin atau hydrogen peroksida encer pada luka dan menggunakan alcohol untuk kulit di luar luka. Luka juga dapat dibersihkan dengan eusol atau aqueous 1 % chlorhexidin. Laporan lain menganjurkan membersihkan luka terlebih dahulu sebelum dibalut dengan madu tetapi tidak memberikan spesifikasi larutan yang harus dipakai. Salah satu laporan membersihkan luka dengan kabut tipis. Sebagian besar laporan menyederhanakan pembersihan luka dengan normal salin sebelum membalutnya dengan madu dan ketika pergantian balutan (Dumronglert, 1983).
Pada beberapa laporan, madu dioleskan menyeluruh pada luka lalu ditutp dengan balutan kering, kebanyakan ditutup dengan balutan yang agak berkabut. Jumlah madu yang dipakai bervariasi, dari yang berupa gosokan tipis (tetapi hasilnya buruk), menggunakan lapisan madui yang tebal (tetapi membutuhkan perlu dilakukan tig asampai empat kali setiap hari), laporan yang lain hanya menggunakan madu sebagai lapisan luar dari luka atau hanya dioleskan tanpa balutan (Farouk, 1988).
Berikut ini adalah pertimbangan untuk penggunaan klinik madu:
1)Jumlah madu yang diperlukan untuk luka tergantung pad jumlah cairan eksudat dari luka yang akan mengencerkan madu. Infeksi yang lebih dalam membutuhkan madu yang lebih banyak pula agar tercapai efek antibakteri madu yang efektif, yaitu madu dapat berdifusi lebih dalam ke jaringan luka. Untuk standar umum, 20 ml madu (25-30 gr) sebaiknya digunakan pada balutan seluas 10 cm2 (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
2)Frekuensi pergantian balutan tergantung seberapa cepat madu terencerkan oleh cairan eksudat. Balutan biasanya diganti satu kali setiap hari, tetapi jika luka negeluarkan eksudat sangat banyak maka perlu penggantian balutan tiga kali setiap hari (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html). Jika tidak ada eksudat, balutan pelu diganti dua kali setiap minggu untuk mempertahankan reservoir komponen antibakteri agar berdifusi ke jaringan luka (Ngan, 2008).
3)Madu bersifat cairan licin dan lembek yang dapat menyulitkan penggunaanya. Hal ini dapat diatasi dengan melumurkan madu pada sebuah bahan kontak luka yang bersifat absorben (penyerap) seperti tissue cutton. Jika dioleskan langsung pada luka, madu cenderung mengalir keluar dari luka sebelum balutan kedua ditempelkan untuk mempertahankan madu agar tetap ditempat (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
4)Madu tidak akan cepat meresap ke dalam balutan absoben. Penyerapan dapat difasilitsai oleh penghangatan madu oleh suhu tubuh dan/atau penambahan satu bagian air ke dalam 20 bagian madu untuk membuat madu lebih cair (Ngan, 2008).
5)Pada beberapa situasi pada lepuhan, madu dapat ditempelkan pada luka dengan menggunakan balutan film adesif. Madu dapat digunakan untuk mngobati luka berongga dalam hal ini, walaupun pendekatan cara ini tidak sesuai untuk luka eksudat yang parah (Ngan, 2008).
6) Untuk luka eksudat moderat samapi berat, balutan sekunder (lapisan kedua) diperlukan untuk menampung rembesan madu dari balutan primer yang telah diencerkan oleh eksudat. Balutan penahan seperti film poliuretan merupakan balutan yang terbaik untuk digunakan sebagai balutan sekunder absorben yang cenderung menarik cairan menjauh dari permukaan luka (Ngan, 2008).
7)Balutan dengan daya adesif rendah membantu mencegah baluatan madu menempel pada luka jika kasus penempelan ini merupakan sebuah masalah. Balutan ini ditempatkan antara luka dan balutan madu, tetapi hal ini harus memungkinkan komponen antibakteri madu berdifusi secara bebas kedalam area luka (Ngan, 2008).
8)Balutan alginate yang digunakan bersama dengan madu merupakan alternative yang baik untuk balutan seslulosa/cutton, karena alginate akan menjadikan madu mengandung soft gel (Ngan, 2008).
9)Beberapa lekukan atau rongga pada area luka harus dipenuhi dengan madu dengan menggunakan balutan yang dicampur madu. Hal ini digunakan untuk memastikan komponen antibakteri madu berdifusi ke dalam jaringan luka (Ngan, 2008).
10)Madu secara aman dapat dimasukkan ke dalam rongga luka. Madu bersifat larut dalam air dan mudah untuk dibilas keluar, jika ada residu madu yang tertinggal sifatnya adalah bio-degradable (madu yang terserap dalam prosesnya tidak mengandung benda-benda asing bagi tubuh). Untuk luka sinus dengan bagian yang sedikit terbuka, cara yang efektif untuk menerapkan penggunaan madu adalah dengan menggunakan kateter pada sebuah syringe yang diisi madu (Ngan, 2008)..
11)Infeksi dapat terjadi dalam jaringan di bawah area luka, maka dari itu balutan madu harus diperlebar di sekitar luka (Ngan, 2008).

G.Kontraindikasi Penggunaan Madu dalam Perawatan Luka
a.Penggunaan madu yang tidak diindikasikan untuk perawatan luka (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
b.Penggunaan pada orang yang sensitive terhadap sengatan lebah (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
c.Penggunaan pada luka yang mongering atau luka nekrotik karena madu dapat menyebabkan pengeringan yang lebih lanjut (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
d.Penggunaan pada inflamasi dan nyeri akut (nyeri mungkin dapat meningkat pada beberapa orang sehingga penggunaannya membutuhkan pengkajian ulang pada pasien dan penggantian jenis balutan lain) (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
e.Penggunaan pada kondisi dimana baluitan tidak dapat diganti dalam waktu tertentu (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).

Sumber Kepustakaan:
Anonim. 2006. Honey Dressings in Wound Care. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html
Anonim. 2008. Obat Rawat Luka. http://metcovazin.blogspot.com/feeds/posts/default
Anonim. 2000. Manfaat Madu bagi Kesehatan. http://healthychoice.epnet.com/GetContent.asp?siteid=csmary&docid=/healthy/alternative/2000/honey/GetContent.asp?siteid=csmary&docid=/healthy/living/contrib, diakses pada tanggal 20 Februari 2009
Anonim. How Honey Heals Wounds. http://www.biotechlearn.org.nz/focus_stories/honey_to_heal/how_honey_heals_wounds
Armon PJ. The use of honey in the treatment of infected wounds. Trop Doct 1980; 10(2): 91
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia: Madu. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta
Bunting CM. The production of hydrogen peroxide by honey and its relevance to wound healing. MSc thesis. University of Waikato. 2001.
Chant A. The biomechanics of leg ulceration. Ann R Coll Surg Engl. 1999;81:80-85.
Chirife J, Herszage L, Joseph A, Kohn ES. In vitro study of bacterial growth inhibition in concentrated sugar solutions: microbiological basis for the use of sugar in treating infected wounds. Antimicrob Agents Chemother 1983; 23(5): 766-73.
Clotho Corp: U.S. Distributors of New Zealand Manuka Honey. Using Honey to Dress a Wound. http://www.purezing.com/living/wellness_articles/living_articles_honeywounds.html
Cooper RA, Molan PC, Harding KG. Antibacterial activity of honey against strains of Staphylococcus aureus from infected wounds. J R Soc Med 1999; 92(6): 283-5.
Dold H, Du DH, Dziao ST. Nachweis antibakterieller, hitze- und lictempfindlicher Hemmungsstoffe Inhibine im Naturhonig Blütenhonig [Detection of the antibacterial heat and light-sensitive substance in natural honey]. Z Hyg Infektionskr 1937; 120: 155-67.
Dumronglert E. A follow-up study of chronic wound healing dressing with pure natural honey. J Nat Res Counc Thail 1983; 15(2):39-66.
Farouk A, Hassan T, Kashif H, Khalid SA, Mutawali I, Wadi M. Studies on Sudanese bee honey: laboratory and clinical evaluation. Int J Crude Drug Res 1988; 26(3):161-168.
Flohé L, Beckmann R, Giertz H, Loschen G. Oxygen-centred free radicals as mediators of inflammation. In: Sies H, ed. Oxidative Stress. London, Ontario: Academic Press, 1985:403-435.
Frankel S, Robinson GE, Berenbaum MR. Antioxidant capacity and correlated characteristics of 14 unifloral honeys. J Apic Res 1998; 37(1): 27-31.
Green AE. Wound healing properties of honey. Br J Surg 1988; 75(12): 1278.
Herszage L, Montenegro JR, Joseph AL. Tratamiento de las heridas supuradas con acúcar granulado comercial. Bol Trab Soc Argent Cir 1980; 41(21-22): 315-30.
Hutton DJ. Treatment of pressure sores. Nurs Times 1966; 62(46): 1533-4.
Hyslop PA, Hinshaw DB, Scraufstatter IU, Cochrane CG, Kunz S, Vosbeck K. Hydrogen peroxide as a potent bacteriostatic antibiotic: implications for host defense. Free Radic Biol Med 1995; 19(1): 31-7.
Johnson, Mary Ann. 1999. Honey as medicine - Australia produces a world's first!. http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html
M, Subrahmanyam. 2007. TOPICAL APPLICATION OF HONEY FOR BURN WOUND TREATMENT - AN OVERVIEW. Sangli: Department of Surgery, Bharati Vidyapeeth University Medical College and Hospit.
Majalah Kehutanan Indonesia. 2002. Budidaya Lebah Madu di Indonesia. Edisi ke-1. Departemen Kehutanan. Jakarta
Molan, PC. 1992. The antibacterial activity of honey. 1.The nature of the antibacterial activity. Bee World.; 73(1): 5-28.
Ngan, Vanessa. 2008. Honey http://dermnetnz.org/treatments/honey.html
Oryan A, Zaker SR. Effects of topical application of honey on cutaneous wound healing in rabbits. Zentralbl Veterinarmed A 1998; 45(3): 181-8.
Peri. 2004. Peramalan penjualan dan keuntungan kotor produk olahan lebah madu apiari pramuka. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Postmes TJ, Bosch MMC, Dutrieux R, van Baare J, Hoekstra MJ. Speeding up the healing of burns with honey. An experimental study with histological assessment of wound biopsies. In: Mizrahi A, Lensky Y, eds. Bee Products: Properties, Applications and Apitherapy. New York, NY: Plenum Press; 1997:27-37.
Purwati, Endang dan Rusfidra. 2008. MADU; Manfaat, Khasiat dan Keajaibannya. Makalah. http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu
Sackett WG. Honey as a carrier of intestinal diseases. Bull Colorado State Univ Agric Exp Stn 1919; 252: 1-18.
Saissy JM, Guignard B, Pats B, Guiavarch M, Rouvier B. Pulmonary edema after hydrogen peroxide irrigation of a war wound. Intensive Care Med 1995; 21(3): 287-8.
Sarwono, B. 2001. Lebah Madu. AgroMedia Pustaka, Tangerang
Sinclair RD, Ryan TJ. Proteolytic enzymes in wound healing: the role of enzymatic debridement. Australas J Dermatol. 1994;35:35-41.
Turner FJ. Hydrogen Peroxide and Other Oxidant Disinfectants (3rd ed). Philadelphia: Lea and Febiger, 1983.
White JW, Subers MH, Schepartz AI. The identification of inhibine, the antibacterial factor in honey, as hydrogen peroxide and its origin in a honey glucose-oxidase system. Biochim Biophys Acta 1963; 73: 57-70. www.info@clickwok.com